Rabu, 30 Maret 2011

Di tengah gencarnya pemerintahan Kabuaten Pinrang yang terus melakukan eksistensi pembangunan di segala bidang, seperti bangunan-bangunan megah dengan nilai ratusan hingga miliaran rupiah, potret kemiskinan justru terus tergambar. Setelah kemiskinan ibu Hani di Kecamatan Suppa, kemiskinan lain mengemuka. Kali ini lebih memiriskan. Dua janda miskin yang sudah sangat renta, berjuang menyambung nafas di atas tanah pekuburan.



Di Kecamatan Watang Sawitto, kecamatan yang terletak di jantung kota Kabupaten Pinrang. Dua janda renta, di lilit kemiskinan sejak lama. Ironis memang, karena kepapahan mereka sedikitpun tidak mendapat perhatian dari pemerintah setempat.

Disaat pemerintah sibuk dengan segala program demi mengejar prestasi, dua janda tua yang terpuruk dalam kemiskinan masing-masing Becce (70) dan Indo Sitti (72) terpaksa harus tengadah tangan demi
demi sesuap nasi. Lagi-lagi kelaparan di tengah gabah melimpah (ach Pinrangku…padahal kau adalah salah satu daerah pemasok beras terbesar wilayah Indonesia Timur)
Becce dan Indo Sitti terpaksa harus memelas agar diberi beras, pisang, ubi, makanan apapun atau uang, karena mereka memang tidak lagi mampu bekerja. Kerentaan usia dan tenaga yang semakin rapuh membatasi ruang gerak mereka. Tidur beralaskan koran bekas, kedua janda miskin yang hidup berdampingan dan nyaris menghabiskan sisa hidupnya tanpa mendapatkan sedikitpun simpatik dari pemerintah.

Becce dan Sitti tinggal di rumah reyot yang berbeda, berukuran 2×3 meter, menjadi satu potret kurang mampunya pemerintah memberi kesejahteraan dan hidup layak bagi masyarakatnya. “Untuk makan kami hanya menunggu pemberian dari orang. Karena untuk bekerja kami sudah tidak mampu,” katanya dalam bahasa Bugis.

Tidak memiliki sanak saudara menyebabkan dua janda tua tersebut hidup sebatangkara, semakin memperburuk keadaan mereka. Selain rumah reyot yang tampak seperti kandang kambing, Becce dan Indo Sitti harus menumpang di atas tanah pekuburan pada areal Pemkuburan Islam, Lalle Lama, Kecamatan Watang Sawitto. Sekitar 100 meter sebelah utara Asrama Polres Pinrang.

Selain kondisi rumah yang tentu sangat memiriskan hati, perabot yang mereka gunakanpun sebenarnya tidak layak pakai, karena mereka dapatkan ketika masih memulung. Becce misalnya, harus makan, memasak dan tidur di ruang yang sama. Sementara Indo Sitti, lebih mengalami kesulitan berkomunikasi karena bisu. Bahkan program raskin yang menjadi tameng pemerintah sebagai program pengentasan kemiskinan, tidak mampu dijangkau dua janda tua tersebut. “Kadang kami tidak bisa mengambil jatah beras kami, karena diambil harus menggunakan uang juga. Kalaupun ada, sebagian kami jual,” kata Indo Sitti.

Tak banyak yang dikatakan kedua janda tua tersebut ketika di temui di rumahnya yang terbuat dari atap seng bekas dan bilah bambu. Kemiskinannya yang telah lama, membuat keduanya pesimis akan datangnya perhatian dari pemerintah dan tidak ingin berharap terlalu banyak selain dari pemberian orang-orang sekitar yang menaruh kasihan kepada mereka. “Selama masih ada yang memberi kami beras dan uang, kami masih mampu bertahan karena lebih dari itu kami tidak tahu harus berharap dari mana lagi,” katanya sambil sesekali mengusap kedua matanya yang kadang berkaca-kaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar